Bandung, SIBER - "Kalau
orang tak tahu sejarah bangsanya sendiri tanah airnya sendiri gampang jadi
orang asing di antara bangsa sendiri," kata sastrawan termahsyur
Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Ungkapan Pram mengajarkan manusia untuk tidak
pernah lupa akan kulitnya. Sejarah memang telah berlalu dan berakhir sebagai
cerita masa lalu, tapi dengan tidak melupakannya, maka bangsa Indonesia akan
selalu ada.
Namun, sayangnya tidak semua
cerita perjuangan pemuda Indonesia terselip dalam buku sejarah. Beberapa di
antaranya hanya hadir sebagai sejarah nonpopuler dengan miskinnya literatur.
Padahal, tanpa mengecilkan aspek apapun, cerita di dalamnya sungguh menyiratkan
perjuangan hebat yang sepatutnya dikenang dan dikenal publik.
Cerita perobekan bendera triwarna
Belanda di depan gedung kantor bank bjb Cabang Utama Bandung bisa dijadikan
contoh. Gedung yang dulu bernama De Eerste Nederlandsch Indische Spaarkas
(Denis) tersebut sejatinya merekam jejak perjuangan pemuda Bandung
mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
"Kehadiran kami berkaitan
erat dengan perjuangan bangsa Indonesia. Gedung kantor bank bjb Cabang Utama
Bandung menjadi saksi perlawanan para pemuda melawan Belanda dalam upayanya
mempertahankan kemerdekaan. Untuk itu, kami mengajak masyarakat untuk bersama
menghargai jasa para pendahulu. Isi kemerdekaan dengan hal positif dan
bermanfaat," ujar Direktur Utama bank bjb Ahmad Irfan beberapa waktu lalu.
Adapun insiden pengibaran bendera
tri warna tersebut terjadi tiga bulan setelah kemerdekaan Indonesia dan jadi
awal dari rangkaian perjuangan revolusioner pemuda boemipoetra sebelum
peristiwa pembumihangusan Bandung Lautan Api pada 24 Maret 1946.
Aktor utama pengibaran tentu
melibatkan tentara Belanda dan sekutunya Inggris, yang kala itu tengah
melakukan evakuasi imigran sembari melucuti pasukan Jepang pasca-kekalahan
memalukan di Perang Dunia II. Ketika itu, hari belum siang dan insiden
provokatif tersebut lantas membakar semangat pejuang Tanah Air.
Apalagi, euforia kemerdekaan
masih begitu terasa, sehingga dalam waktu singkat halaman gedung Denis dihiasi
ratusan pemuda Bandung yang menuntut bendera kebanggaan Belanda berwarna merah
putih biru diturunkan. Padahal, pasukan Inggris yang berjaga dilengkapi
persenjataan mewah, termasuk kendaraan lapis baja.
Kawasan Jalan Asia Afrika memang
dijadikan markas utama Inggris dan Sekutu di Jawa Barat, termasuk serdadu
marcenary asal Nepal, Gurkha. Gurkha merupakan tentara bayaran profesional yang
dikenal karena keberanian dan kekuatannya berperang. Tidak heran jika Inggris
menggunakan jasanya dalam Perang Dunia I dan II.
Menurut John Parker dalam bukunya
The Gurkhas: The Inside Story of the Worlds Most Feared Soldiers, setidaknya
sebanyak 200 ribu pasukan Gurkha telah berjuang dalam kemiliteran Inggris,
tidak terkecuali di Indonesia. Pasukan Gurkha menjadikan Hotel Savoy Homann
yang berjarak puluhan meter dari Gedung Denis sebagai markas utama.
Persenjataan lengkap serdadu
Inggris dan citra mengerikan dari Gurkha, tidak lantas membuat pejuang Bandung
lemas lutut bergeming. Semangat revolusioner terwakilkan oleh tindakan heroik
dua pemuda Bandung bernama Endang Karmas dan Mulyono.
Karmas yang gerah melihat
triwarna berkibar, berniat menurunkannya dan menggantinya dengan Sang Merah
Putih. Dengan berani dan penuh risiko, Karmas bergerak sendirian masuk ke dalam
Gedung Denis hingga mencapai bagian atap.
Setibanya di atap, Karmas bertemu
dengan Mulyono yang juga memiliki niatan sama. Keduanya lantas bekerja sama
menurunkan bendera triwarna. Namun, ketika mencapai puncak menara, kedua pemuda
tersebut terdiam sejenak karena tidak ada lagi jalan untuk naik.
Karmas dan Mulyono hanya memiliki
satu pilihan, yakni dengan menarik kabel besi untuk mencapai bendera. Apa
dikata, angin yang bertiup kencang membuat kabel besi begitu kuat dan bergerak
sporadis. Kabel besi gagal diraih dan di waktu bersamaan desingan peluru
pasukan Gurkha terdengar keras dari arah Hotel Savoy Homann. Spontan Karmas dan
Mulyono menunduk panik.
Suasana mendadak beralih panas
mencekam, tapi para pemuda Bandung yang berada di halaman gedung Denis tidak
lantas menunjukkan ekspresi ketakutan. Suara ledakan justru dibalas dengan
teriakan "Medeka, merdeka, merdeka!".
Di atap gedung, Karmas dan
Mulyono terus berusaha menurunkan triwarna. Hingga kemudian bendera terkulai
dan Karmas berhasil meraih ujungnya. Lantas, Karmas meminta Mulyono
memegangnya. Bayonet dihunus dan bahu Mulyono dijadikan pijakan ketika Karmas
naik untuk mencabik bagian warna biru pada bendera Belanda.
Warna biru pada triwarna dirobek
keras, tersisalah warna merah dan putih. Sang Merah Putih berkibar sendiri di
gedung Denis yang membuat pemuda semakin keras dan lantang menyerukan kata
"Merdeka".
"Setelah tragedi perobekan
bendera di gedung Denis dan ledakan peluru di Hotel Savoy Homann, bantuan
datang dari gerilyawan Indonesia. Satu yang perlu diingat, ketika itu, Karmas
dan Mulyono masih berusia belasan tahun. Mereka masih sangat muda tapi sangat berani,"
ujar pegiat sejarah Komunitas Aleut, Irfan Teguh.
Peristiwa di gedung Denis
mendorong terbentuknya badan penghubung yang berfungsi menjembatani komunikasi
antara pejuang Indonesia dan Sekutu. Walau dalam perjalanannya hubungan antara
Indonesia dan Sekutu justru kembali memburuk.
Gedung Denis sendiri sebenarnya
memiliki peran krusial dalam perjalanan memperjuangkan kemerdekaan. Baik Jepang
maupun Belanda sangat ingin menguasai gedung Denis. Tidak heran jika
pertumpahan darah kerap terjadi di gedung hasil karya arsitek Albert Frederik
Aalbers tersebut. Bahkan, gedung Denis sempat menjadi titik keberangkatan utama
ketika Keresidenan Priangan pindah ke Garut karena serangkaian peristiwa
perlawanan revolusioner.
Namun, dokumentasi dan literatur
mengenai perjalanan sejarah gedung Denis dipandang sangat minim. Menjadikan
fakta sejarah seakan terlupakan. Hingga akhirnya dua wartawan bernama Enton
Supriyatna dan Efrie Christianto merilis buku berjudul Merah Putih di Gedung
Denis: Catatan Tercecer di Awal Kemerdekaan.
Untuk mengenang perjuangan di
gedung Denis, dua tahun lalu bank bjb pernah menggelar pertunjukan drama teater
tentang kisah heroik perobekan bendera triwarna. Kegiatan tersebut dilakukan
sebagai bentuk pendidikan kepada generasi penerus atas sejarah dan nilai luhur.
"Mengetahui arti sejarah di
Tanah Air merupakan salah satu bentuk pendidikan bagi generasi muda. Kami
memiliki nilai perjuangan yang sangat penting bagi negeri dan bank bjb
berkomitmen untuk memelihara sejarah dan warisan budaya bangsa," ujar
Direktur Operasional bank bjb, Fermiyanti.
Selain itu, bank bjb juga rajin
memberikan bantuan kepada veteran perang melalui program corporate social
responsibility. Setidaknya, bank bjb telah membantu 500 veteran di kawasan
Bandung Raya dengan memberikan santunan dan melakukan renovasi rumah.
Veteran dipilih bukan tanpa
alasan. Terlepas dari jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,
nyatanya hingga kini kesejahteraan veteran belum mendapat perhatian lebih dari
pemerintah. Bantuan tersebut menegaskan kehadiran bank bjb dalam membangun
Indonesia dan memahami negeri.
Menjaga dan Mengenal Arsitektur Gedung Denis
Bandung tempo dulu hadir sebagai
salah satu laboratorium arsitektur dunia. Bandung memiliki banyak bangunan
monumental bergaya klasik hasil karya arsitek kenamaan dunia, tidak terkecuali
gedung Denis. Bangunan tersebut terpatri setia menemani laju perkembangan kota
meski pernah termakan tragedi Bandung Lautan Api.
Jika diperhatikan, konsep
arsitektur gedung Denis mirip dengan Hotel Savoy Homann. Di kedua bangunan
tersebut terkandung unsur plastis horisontal di setiap eksterior bangunan.
Sebuah bukti fisik yang menegaskan keberadaan konsep arsitektur bergaya
internasionalisme klasik khas Eropa di Indonesia pada dekade 1930 hingga 1946.
Adalah arsitektur berkebangsaan
Belanda kelahiran 1897 bernama Albert Frederik Aalbers yang membawa konsep
kontemporer streamline pada bentuk dasar dari gedung Denis. Kala itu tren
arsitektur yang berkembang di Belanda banyak dipengaruhi gerakan rasionalisme.
Di masanya, Albert merupakan
salah satu dari tiga arsitek paling berpengaruh di Hindia Belanda. Konsep dari
gedung Denis bisa dijadikan bukti kecerdasan Albert karena memberikan
kontribusi pemikiran pada perkembangan arsitektur di Indonesia.
Alasannya sederhana, karena
Albert menghadirkan dualisme ideologi dalam desain, yakni neoplastis rasionalis
pada sisi eksterior dan dekoratif bernuansa konten lokal untuk interior.
Artinya, Gedung Denis dinilai dapat merespons budaya di Indonesia.
"Perlu ada respons budaya
lokal. Artinya tidak hanya menempelkan ornamen seperti pendirian Kota Tua di
Jakarta atau perumahan tentara di Cimahi. Albert melakukan itu pada
karyanya," ujar Arsitektur dari Institut Teknologi Bandung, Widjaja
Martokusumo, beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, bank bjb
berkomitmen untuk terus menjaga dan melestarikan orisinalitas dari gedung
Denis. Hal tersebut dibuktikan bank bjb dengan tetap merawat dan mempertahankan
bentuk asli dari gedung Denis, tanpa mengubah bentuk sama sekali.
Apa yang dilakukan bank bjb,
sebenarnya sesuai dengan tiga pendekatan yang tengah dilakukan Unesco perihal
pelestarian cagar budaya. Pertama, cagar budaya diharapkan dapat memberikan
nilai pengetahuan kepada wisatawan, sehingga menciptakan kesadaran dan rasa
hormat akan keberadaan sejarah.
Kedua, wisatawan tidak
diperkenankan untuk merusak cagar budaya baik secara fisik maupun nonfisik.
Ketiga, cagar budaya harus memberikan manfaat secara ekonomi bagi masyarakat,
salah satu caranya dengan menggunakannya sebagai bangunan produktif.
Oleh karena itu, cagar budaya
bukan hanya berfungsi sebagai hiasan kota untuk mengenang romantisme masa lalu.
Pemanfaatan oleh masyarakat dan pemerintah secara ekonomi perlu dilakukan,
misalnya dengan menjadikannya sebagai akomodasi penginapan, fasilitas wisata,
hingga kantor.
"Ketika ekonomi masyarakat
meningkat, maka dengan sendirinya cagar budaya akan dijaga seperti apa yang
terjadi di Eropa. Sedangkan kini, sebagian cagar budaya di Bandung hanya
menjadi pajangan," ujar Vice President International Council on Monuments
and Sites Indonesia, Dicky Soeria Atmadja, beberapa waktu lalu.
Padahal, peraturan terkait cagar
budaya yang dimiliki Indonesia jauh lebih ketat ketimbang regulasi serupa di
beberapa negara Eropa. Namun, pengetatan peraturan justru membuat cagar budaya
semakin tidak berkembang dan bernilai. "Jadi seolah ingin melindungi
(cagar budaya) namun justru membuatnya mati. Kalau bermanfaat pasti lestari
karena masyarakat turut menjaga," ujar Dicky. Red